Bojonegoro Post ~ Pikiran Anik menerawang sejenak ke masa lalu. Belasan tahun yang lalu, dia masih berstatus pekerja seks komersil (PSK) di "Kota Pelajar" Yogyakarta.
Di Surabaya ada Dolly, dulu di Yogyakarta ada Sanggrahan. Anik merupakan salah satu penghuni lokalisasi itu, yang populer dengan singkatan "SG."
Sudah sejak 1997 lokalisasi SG ditutup. Kini menjadi Terminal Bus Giwangan, mengganti terminal lama, Umbulharjo.
Sewaktu masih jadi lokalisasi, tempat itu ramai dengan lenggak-lenggok para perempuan demi memikat pria hidung belang yang ingin memuaskan birahi dengan tarif tertentu. Kini, kesibukan di tempat itu berganti dengan teriakan para kenek bus mencari calon penumpang di terminal.
Berubah pula profesi sebagian penghuni SG, termasuk Anik. Kini, perempuan 45 tahun itu jadi pengusaha, punya warung dan karaoke di Kawasan Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, DIY. Sebelumnya Anik berbisnis di SG, tapi terpaksa pindah karena kontrak hak sewa sudah habis dan tidak bisa diperpanjang.
"Kontraknya selama 20 tahun, sehingga seharusnya pada tahun 1995 sudah ditutup. Namun para penghuni SG, baik induk semang dan anak buahnya, minta diundur selama 2 tahun sehingga baru pada tahun 1997 SG ditutup untuk selamanya," kata dia.
Lanjut Anik, pemerintah kota kala itu membeli seluruh rumah yang digunakan untuk prostitusi. Sedangkan para pekerja seks juga mendapatkan pesangon sebesar Rp 300.000 per orang untuk meninggalkan tempat itu.
"Rumah yang digunakan untuk prositusi di SG sekitar 50 hingga 60 rumah. Dalam setiap rumah terdapat 1 induk semang yang memiliki 5 hingga 6 anak buah. Sehingga penghuni di lokalisasi SG sekitar 300-an orang," jelasnya.
Tidak jauh dari terminal bus, dibangun pula pasar induk sayur dan buah. Ini demi membuka banyak lapangan pekerjaan bagi warga di sekitar SG.
"Banyak warga yang beralih menjadi pedagang sayur dan buah yang buka selama 24 jam di pasar buah dan sayur giwangan. Ada juga warga yang menjadi agen bus malam. Saat ini ekonomi warga sudah pulih kembali bahkan mungkin lebih makmur," ujar Sukro Riyadi. Dia warga Kampung Mrican, Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
SG merupakan salah satu contoh upaya pemerintah setempat menutup kawasan lokalisasi dan mengubahnya menjadi fasilitas umum seperti terminal bus. Ini proses yang tidak mudah. Mengubah kehidupan para penghuninya tidak semudah merobohkan bangunan.
Seperti lokalisasi di sejumlah daerah, penutupan SG juga tak luput dari pro dan kontra. Anik tahu persis ceritanya.
Setelah ditutup oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan sebelum dibangun Terminal, para induk semang dan anak buah mereka pergi dari SG dan menyebar ke berbagai daerah seperti Magelang, Semarang, Madiun dan Surabaya.
Namun ada juga yang hanya pindah ke lokalisasi yang ada di selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Lokalisasi di dekat Jalan Malioboro itu bernama Pasar Kembang atau sering disingkat Sarkem.
"Semua pindah kemana-mana, yang penting bisa mencari makan. Saya sendiri pindah ke Pantai Mbolong dan mengontrak salah satu rumah milik warga. Di Pantai Mbolong, Kabupaten Bantul tak beda juga dengan yang di SG. Meski saat ini sudah ditutup oleh Pemkab Bantul,"kata Anik.
Anik menambahkan para induk semang yang masih tinggal di kawasan SG yang kini menjadi Terminal Giwangan bertahan hidup dengan modal yang dimilikinya. Ada yang melanjutkan hidup dengan membuat usaha warung makan, penjual sate atau toko kelontong di sekitar terminal. "Yang benar-benar kerja keras ada yang berhasil dan yang tidak kembali menjadi induk semang,"demikian ungkap Anik.
Namun, ungkap dia, persentase induk semang dan anak semang yang tidak lagi terjun ke dunia prostitusi terbilang minim. Tidak sedikit dari mereka tak punya ketrampilan yang cukup. Hanya berpendidikan rendah dan modal sedikit, sedangkan keluarga di kampung membutuhkan uang.
"Karena tuntutan ekonomi maka mereka jadi induk semang lagi dan pekerja seks di tempat lain. Yang saat ini memiliki warung atau usaha lainnya terkadang tempat usahanya juga digunakan untuk mangkal para pekerja seks dan berlangsung secara terang-terangan," jelasnya.
Itu pula sebabnya SG masih belum bersih dari pelacuran. Praktik prostitusi, ungkap Sukro, masih terjadi oleh beberapa warga. "Masih banyak rumah milik warga di sekitar Terminal Giwangan khususnya yang berada di sisi timur terminal digunakan untuk prostitusi dan berlangsung secara terbuka,"katanya.
Sukro mengaku banyak juga rumah-rumah kontrakan disekitar terminal Giwangan yang digunakan untuk tempat tinggal para pekerja seks yang terkadang tinggal bersama dengan pacarnya."Sudah biasa yang perempuan kalau malam bekerja sebagai pekerja seks sementara pacarnya yang mengantarkan untuk mangkal atau mengantar ke hotel tempat kencan," ujar dia.
Karena daerah Giwangan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul maka ketika terjadi razia dari Tramtib Kota Yogyakarta maka para wanita pekerja seks ini hanya bergeser ke selatan Terminal Giwangan sehingga aman dari razia. "Yang jelas setiap razia pasti bocor, jadi bagaimana mau menangkap mereka?" ungkapnya.
Menurutnya Sukro, beberapa lama setelah penutupan SG merupakan pukulan yang berat bagi masyarakat sekitar. Warung makan tidak laku karena sudah tidak ada pembelinya dan untuk usaha lain butuh biaya yang tidak sedikit. Namun bersamaan dengan beroperasinya Terminal Giwangan yang merupakan terminal penumpang terbesar di Yogyakarta, geliat ekonomi warga di sekitar kampung SG kembali terjadi.
"Warung makan yang tidak laku sudah kembali pulih. Warga juga banyak yang mendirikan tempat penitipan sepada motor atau mobil yang pendapatannya dalam sehari cukup lumayan. Warga ada juga yang jadi tukang ojek, karena jika tiba terlalu malam di terminal Giwangan sudah tidak ada angkutan umum," kata Sukro.
Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Totok Suryo Noto mengaku meski SG sudah ditutup, namun kegiatan prostitusi tetap saja berlangsung di sekitar terminal Giwangan. Para pekerja seks menurutnya menjajakan diri di beberapa warung-warung yang ada di sekitar Terminal Giwangan.
"Biasanya mereka mangkal antara pukul 23.00 hingga 04.00," katanya. Totok mengatakan dia selalu rutin melakukan operasi. Namun yang tertangkap juga wajah lama.
Kemudian setelah disidang di Pengadilan Negeri, mereka membayar denda dan kembali mangkal. "Ya mungkin bisanya cuma bekerja seperti itu. Terus mau bagaimana lagi," ujar Totok.
Diakui Totok saat ini banyak rumah yang dikontrakkan di sekitar terminal Giwangan. Rumah-rumah itu dikontrak oleh para pekerja seks. Mereka rata-rata berumur 20 hingga 30 tahun.
"Mereka akan keluar dari kontrakan setelah ada pesanan untuk menemani tamu di salah satu hotel. Ini modus yang lebih aman karena petugas tidak mungkin merazia rumah kontrakan mereka," ungkapnya.
Totok mengatakan penutupan di Gang Dolly hampir sama dengan penutupan di SG karena ada perjanjian hitam di atas putihnya. Pemerintah punya landasan hukum yang kuat. "Dulu SG sebagai lokalisasi ditutup karena landasan hukumnya cukup kuat," jelas dia.
Totok mengatakan pada saat SG masih beroperasi, berbagai ketrampilan juga diberikan kepada induk semang dan anak semang. Namun setelah ditutup dan penghuni pindah sudah tidak diketahui lagi perkembangannya.
"Kan paling banyak warga pendatang di SG kala itu. Jadi perkembangan ekonomi mereka dari ketrampilan yang diberikan pemerintah tak dapat lagi dipantau," katanya.
Namun Totok memastikan hingga saat ini, masih ada penghuni SG yang mangkal disekitar Terminal Giwangan dan mengontrak atau kos disekitar terminal Giwangan.
"Kalau kita razia dan kita tanyai ada yang mengaku telah bekerja sejak SG dahulu ada. Padahal sudah 17 tahun SG ditutup," jelasnya.
Cerita dari Utara Jakarta
Tak hanya di Surabaya dan Yogyakarta. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta juga pernah melakukan penutupan lokalisasi. Lokalisasi Kramat Tunggak seluas 10 hektar yang terletak di Jakarta Utara itu ditutup oleh Gubernur Sutiyoso. Penutupan dilakukan pada 1999 lalu.
Ketika melakukan penelusuran di eks lokalisasi Kramat Tunggak, VIVAnews bertemu dengan Kaspandi (58) adalah warga yang tinggal tepat di sebelah Kramat Tunggak, yang kini telah berubah menjadi Jakarta Islamic Centre. Sehari-hari, dia berdagang es kelapa muda di depan rumahnya.
Meski telah 15 tahun berlalu, Kaspandi masih ingat benar pada sepajang tahun 1998 hingga awal 1999, sekelompok ibu-ibu berunjuk rasa di depan lokalisasi. " Mereka menuntut agar lokalisasi ditutup, daripada suami mereka sering menghabiskan waktu di dalam lokalisasi," katanya.
Akibat demonstrasi yang terus-menerus digelar, akhirnya pemerintah memenuhi tuntutan warga. Kramat Tunggak yang berdiri sejak 1970 ditutup. Setelah penutupan, Kaspandi menceritakan dampaknya langsung dirasakan warga yang tinggal di sekitar lokalisasi.
"Mungkin yang paling merasakan adalah para tukang ojek," ujarnya. Para tukang ojek menurutnya memiliki langganan tetap. Mulai dari para WTS, mucikari hingga para lelaki hidung belang yang datang berkunjung. Kaspandi meneritakan orangtua dahulu pada awal tahun 1990-an adalah seorang tukang cuci.
Dia masih ingat benar bagaimana dia mengambil pakaian kotor dan mengantarkan pakaian bersih yang telah selesai dicuci oleh ibunya. "Sekarang setelah ditutup, para WTS dan mucikari sebagian besar pindah ke Rawa Malang dan kolong jembatan Cilincing," ujarnya.
Tetangga Kaspandi, Edi Suhedi (55) yang pernah menjabat sebagai Ketua Rukun Tetangga sebelum lokalisasi ditutup mengatakan dia sebelumnya memiliki penghasilan tambahan. Penghasilan tambahan itu dia peroleh dari para WTS dan mucikari yang mengurus Kartu Tanda Penduduk.
Edi yang tinggal sejak kecil di Kramat Tunggak yang terletak di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara mengatakan sejak lokalisasi ditutup, banyak warga yang mengeluh. Warga mengeluh karena sebelumya mereka bisa hidup dengan mengandalkan pendapatan dari lokalisasi.
"Ada yang jadi tukang cuci, ojek, tukang parkir, tukang becak, pedagang asongan, hansip dan lain-lain. Tukang cuci saja dulu bisa punya anak buah 10 orang. Banyak pemasukan yang dihasilkan bagi warga di sini," katanya.
Setelah ditutup, menurut Edi banyak warga yang akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Namun ada juga dari mereka yang masih bertahan hingga hari ini.
"Setelah ditutup tahun 1999, tidak ada solusi dari Pemerintah DKI. Setelah ditutup ya dibiarin, dilepas begitu saja. Kemudian dibangun Islamic Centre," jelasnya.
Di depan Jakarta Islamic Centre yang berdiri di atas lahan eks lokalisasi, VIVAnews bertemu dengan Fransiska Margaretha Abraham, yang akrab disapa Siska (50). Siska bercerita tak lama setelah lokalisasi ditutup, ada seorang tukang ojek yang gantung diri. "Dia punya anak 11 orang, dia putus asa lalu gantung diri," katanya.
Setelah dilakukan penutupan, Siska bercerita para penghuninya berpencar. Selain ke Rawa Malang dan kolong jembatan Cilincing, banyak juga yang berpindah ke kafe-kafe karaoke di sekitar pelabuhan Tanjung Priok.
Ketika lokalisasi masih berdiri, suami Siska berjualan kupon judi togel. Dalam waktu sehari, suaminya bisa menyetor hingga Rp7 hingga 8 juta. "Kami dapat 30 persen," ujarnya. Dari pendapatan hasil menjual kupon judi itu, Siska bisa membangun rumah yang kini ditempatinya. Para pelanggan menurut Siska berasal dari dalam lokalisasi mulai dari WTS dan mucikari.
"Tapi itu dulu, sekarang saya jualan minuman asongan," jelasnya.
Setelah memperoleh cerita dari eks lokalisasi Kramat Tunggak, VIVAnews menuju ke Rawa Malang yang masih berada di Jakarta Utara. Bertemu dengan pasangan suami istri Pak Aboy dan Ibu Kesi. Mereka dahulu pernah menjadi mucikari di Kramat Tunggak.
Di kafe remang-remang miliknya bernama Indra Ayu, Kesi mengatakan sebelum lokalisasi ditutup, dia terlebih dahulu pulang ke kampung halamannya. "Setelah ditutup, saya baru pindah ke sini (Rawa Malang)," jelasnya.
Kesi memiliki 5 orang anak. Saat ini, perempuan 50 tahun itu mengurus kafe dibantu putra keduanya. Di kafe remang-remangnya, Kesi memiliki 5 orang anak buah perempuan yang siap menemani dan berkencan dengan pelanggan yang datang.
"Silahkan mas kalau ingin mencoba, tidak ada bedanya kok dengan yang di Kramat Tunggak," kata dia.
Kisah Sukses Solo
Lokalisasi Silir di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, kini sudah berubah. Kini, kawasan eks lokalisasi telah berubah menjadi pemukiman penduduk, Islamic Center, pasar klitikan Notoharjo hingga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Ar Rido. Kawasan ini sudah bebas dengan prostitusi.
Melihat ke belakang, lokalisasi yang terletak di bagian timur Kota Solo ini sudah ada sejak tahun 1960. Berdasarkan data yang dikumpulkan VIVAnews, kawasan Silir berdiri di atas dua wilayah rukun warga. Di lokalisasi itu terdapat sekitar 70-an rumah dan wisma. Setiap rumah memiliki luas sekitar 300 meter persegi. Tiap rumah itu biasanya menampung sekitar 10-15 PSK.
Setelah 37 tahun berdiri, pada 1997 lokalisasi itu ditutup. Penutupan dilakukan oleh Wali Kota Solo yang ketika itu dijabat Imam Sutopo. Sayangnya, meski sudah ada dasar hukum penutupan lokalisasi, kawasan Silir tetap hidup. Ratusan PSK masih saja beroperasi di tempat itu. Karena sudah ada dasar hukum penutupan, maka lokalisasi di Silir terbilang ilegal.
Iswanti, salah satu warga di Silir mengakui, para PSK masih saja beroperasi. Tetapi karena keberadaannya ilegal, maka mereka kerap dirazia oleh Pemkot Solo. Oleh sebab itulah tak jarang terjadi kejar-kejaran antara Satpol PP Solo dengan PSK.
“Dulu itu, setelah tahun 1997, para PSK ini kerap dirazia, dikejar Satpol PP. Mereka itu sering lari tunggang langgang masuk ke rumah penduduk. Yang penting mereka itu bisa lolos dari kejaran Satpol PP, “ ungkapnya.
Penutupan Silir secara nyata baru dilakukan pada tahun 2007 saat Solo kepemimpinan Joko Widodo dan FX Hady Rudiatmo. Pasangan yang baru memimpin Solo pada tahun 2005 ini melakukan serangkaian pendekatan kepada para mucikari dan PSK Silir.
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan mulai tahun 2006, dia mulai melakukan pendekatan ke para WTS dan mucikari di Silir. Pendekatan menurut Rudi dilakukan kurang lebih selama satu tahun.
Rudi mengatakan selama setahun, dia kerap mendatangi mereka dan menanyakan apa yang menjadi keinginannya. Pemerintah Kota menurut Rudi juga memberikan pendampingan keterampilan kepada para WTS seperti menjahit, memasak dan tata rias.
"Bahkan saat pendekatan itu pun saya sering diuyel-uyel (dipeluk) sama PSK. Ya itu nggak pa-pa, bagian dari membantu mereka untuk mencari solusi, “ ujarnya.
Akhirnya setelah satu tahun melakukan pendekatan, Rudy berhasil menutup lokalisasi ini. Hanya saja para germo meminta syarat sertifikat tanah atas bangunan yang ditempatinya itu. Kemudian pemerintah kota pun menyanggupinya untuk memberikan sertifikat tanah kepemilikan kepada mereka.
“Sedangkan untuk para PSK dikembalikan ke tempat tinggalnya masing-masing dengan diberi bekal uang pesangon serta ketrampilan, “ tuturnya.
Tak hanya Rudy, ada juga sosok Sarjoko yang berkontribusi dalam upaya membenahi silir. Sarjoko adalah Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ar Ridho. Sardjoko mengakui jika penutupan kawasan lokalisasi secara formal bukan berarti kawasan tersebut sudah benar-benar mati dan tidak kembali beroperasi. Karena terbukti saat kawasan Silir ditutup tahun 1997, tetap saja ada PSK yang beroperasi.
“Oleh sebab itu yang dibutuhkan itu adalah bagaimana para PSK dan mucikari ini diajak duduk bersama untuk merumuskan dan mencari solusi permasalahan mereka. Selain itu juga mengajak mereka dengan bahasa yang sesuai dengan kemampuannya. Gampangannya nguwongke uwong, “ ungkap Sarjoko.
Dengan pendekatan yang dilakukan Rudy dan Sarjoko, akhirnya Silir pun kini berganti wajah. Sekarang Silir sudah tidak lagi terkenal sebagai lokalisasi. Sarjoko dengan PKBM Ar Rido berhasil mengentaskan para PSK ini dari lembah hitam. Mereka dibekal keterampilan agar bisa mandiri.
“Buktinya, para PSK yang sudah kami bina ini sudah tidak kembali ke lembah hitam. Mereka bisa mandiri. Kampung Silir sudah bukan menjadi kawasan lokalisasi. Karena bagi kami Silir yang sekarang bukan seperti Silir yang dulu, “ jelasnya.
Lokalisasi ke Resosialisasi
Jauh sebelum ide penutupan serta penertiban lokalisasi Dolly, ternyata komplek lokalisasi Sunan Kuning Semarang sejak lima tahun silam telah menjadi daerah percontohan, rehabilitasi dan resosialisasi di Indonesia.
Bahkan, lokalisasi yang akrab disebut 'SK' oleh warga Semarang itu telah berhasil mengentaskan sejumlah wanita tuna susila (WTS) dengan berbagai program yang digalakkan pemerintah.
Sejak 2009 silam, kompleks wisata birahi yang terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang itu tak hanya semata menjajakan aktivitas prostitusi. Tapi program pengentasan itu telah riil dilakukan dengan tujuan mengentaskan para WTS dari lembah hitam pelacuran untuk kembali kepada hidup normal.
Resosialisasi itu dilakukan melalui metode pembinaan kepada para WTS. Aturannya pun beragam. Para WTS tak hanya dikelola oleh mucikari (germo), namun pengelola lokalisasi punya wewenang penuh menerapkan sejumlah aturan.
"Di sini sekarang kan bukan lokalisasi, tapi resosialisasi dan rehabilitasi. Kita punya program dengan sistem tabungan dari tiap penghasilan anak asuh selama tiga tahun," kata Kepala Resos Argo Mulyo Sunan Kuning (SK) Semarang, Suwandi Eko Saputro kepada VIVAnews, Kamis 19 Juni 2014
Program itu terbukti ampuh. Terhitung di bulan Juni 2014 saja sudah ada 20 anak asuh yang berada di Resos SK telah berhasil dientaskan. Bahkan, program yang berjalan dua tahun terakhir itu dapat dipatuhi oleh seluruh anak asuh.
"Paling tidak mereka dapat Rp100 juta per tiga tahun. Di sini kan kita tekan, kalau sudah bisa dibina akan dikembalikan ke kampung halaman, dengan modal uang tersebut mereka bisa membuka usaha sesuai ketrampilan yang mereka minati, " jelas pria yang juga Ketua Paguyuban Antar Resosialiasi se-Indonesia itu.
Selama tiga tahun itu pula, mereka mendapatkan pelatihan seperti menjahit, memasak, salon serta membuat berbagai macam kerajinan serta jenis dan model ketrampilan yang lain. Harapannya mereka bisa keluar dari lembah hitam prostitusi dengan modal dari uang iuran yang telah dilakukan oleh pengelola selama mereka bekerja sebagai WTS.
Selain, pengentasan melalui rehabilitasi lembah hitam prostitusi, pengelola lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang juga memberikan pendidikan rohani. Seperti pengajian mingguan, bulanan bahkan rutin di tiap bulan Ramadahan.
Pendidikan rohani dengan menghadirkan sejumlah narasumber dan instansi keagamaan untuk rutin mengisi.
Pengajian bulananpun juga diadakan sebagai kegiatan siraman rohani yang mengajarkan bahwa melacur adalah perbuatan yang dilarang agama. "Bahkan kita anjurkan bagi yang non muslim untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Seperti ke Gereja, " terang Suwandi.
Dukungan Kesehatan
Seorang PSK berinisial EN (49), yang juga Koordinator Bidang Kesehatan, menyatakan masalah kesehatan menjadi hal penting yang menjadi perhatian utama di kompleks Sunan Kuning. Program yang ritin dijalankan antara lain, pemeriksaan terhadap 540 WTS yang dilakukan seminggu sekali. Hal itu berlaku bagi semua WTS, Pemandu Karaoke (PK) bahkan operator.
Pemeriksaan kesehatan itu dilakukan dengan metode tes Voluntary and Counseling (VCT) dan Screening. Metode pemeriksaan VCT ini adalah untuk memastikan sang PSK apakah dalam melayani tamu-tamunya menggunakan kondom atau tidak. Sedangkan metode screening dikenal mereka sebagai pemeriksaan rutin alat kemaluan para pekerja seks.
Dua metode ini dilakukan dalam rangka menekan terjadinya proses penularan penyakit kelamin atau Infeksi Menular Seksual (IMS). "Dalam seminggu kita melakukan 4 kali pemeriksaan secara bergilir dari gang ke gang. Untuk Jum'at-Sabtu kita buat untuk senam bersama, " ujarnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, tiap dua minggu sekali rutin dilakukan screening alias pemeriksaan kelamin. Hal itu untuk mengetahui apakah ada pekerja yang melayani tamu tanpa kondom atau tidak.
"Dengan perhatian kesehatan itu lima tahun kita jadi percontohan lokalisasi di Indonesia. Karena IPM kami sangat kecil dibanding lokalisasi lain, " tegasnya.
Pemeriksaan rutin lain adalah pengambilan sampel darah oleh petugas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kota Semarang. Tiap pekerja akan diambil sampel darah untuk diteliti di laboraturium. Hal itu untuk mengetahui apakah kandungan darahnya positif mengidap penyakit seks ataupun virus HIV-AIDS atau tidak.
"Kita akan pertahankan untuk masalah kesehatan ini. Jangan sampai masalah kesehatan akan menjadi seperti di Dolly itu," kata EN.
(viva.co.id)
Di Surabaya ada Dolly, dulu di Yogyakarta ada Sanggrahan. Anik merupakan salah satu penghuni lokalisasi itu, yang populer dengan singkatan "SG."
Sudah sejak 1997 lokalisasi SG ditutup. Kini menjadi Terminal Bus Giwangan, mengganti terminal lama, Umbulharjo.
Terminal bus Giwangan, Yogyakarta, dulunya merupakan tempat lokalisasi.
Sewaktu masih jadi lokalisasi, tempat itu ramai dengan lenggak-lenggok para perempuan demi memikat pria hidung belang yang ingin memuaskan birahi dengan tarif tertentu. Kini, kesibukan di tempat itu berganti dengan teriakan para kenek bus mencari calon penumpang di terminal.
Berubah pula profesi sebagian penghuni SG, termasuk Anik. Kini, perempuan 45 tahun itu jadi pengusaha, punya warung dan karaoke di Kawasan Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, DIY. Sebelumnya Anik berbisnis di SG, tapi terpaksa pindah karena kontrak hak sewa sudah habis dan tidak bisa diperpanjang.
"Kontraknya selama 20 tahun, sehingga seharusnya pada tahun 1995 sudah ditutup. Namun para penghuni SG, baik induk semang dan anak buahnya, minta diundur selama 2 tahun sehingga baru pada tahun 1997 SG ditutup untuk selamanya," kata dia.
Lanjut Anik, pemerintah kota kala itu membeli seluruh rumah yang digunakan untuk prostitusi. Sedangkan para pekerja seks juga mendapatkan pesangon sebesar Rp 300.000 per orang untuk meninggalkan tempat itu.
"Rumah yang digunakan untuk prositusi di SG sekitar 50 hingga 60 rumah. Dalam setiap rumah terdapat 1 induk semang yang memiliki 5 hingga 6 anak buah. Sehingga penghuni di lokalisasi SG sekitar 300-an orang," jelasnya.
Tidak jauh dari terminal bus, dibangun pula pasar induk sayur dan buah. Ini demi membuka banyak lapangan pekerjaan bagi warga di sekitar SG.
"Banyak warga yang beralih menjadi pedagang sayur dan buah yang buka selama 24 jam di pasar buah dan sayur giwangan. Ada juga warga yang menjadi agen bus malam. Saat ini ekonomi warga sudah pulih kembali bahkan mungkin lebih makmur," ujar Sukro Riyadi. Dia warga Kampung Mrican, Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
SG merupakan salah satu contoh upaya pemerintah setempat menutup kawasan lokalisasi dan mengubahnya menjadi fasilitas umum seperti terminal bus. Ini proses yang tidak mudah. Mengubah kehidupan para penghuninya tidak semudah merobohkan bangunan.
Seperti lokalisasi di sejumlah daerah, penutupan SG juga tak luput dari pro dan kontra. Anik tahu persis ceritanya.
Setelah ditutup oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan sebelum dibangun Terminal, para induk semang dan anak buah mereka pergi dari SG dan menyebar ke berbagai daerah seperti Magelang, Semarang, Madiun dan Surabaya.
Namun ada juga yang hanya pindah ke lokalisasi yang ada di selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Lokalisasi di dekat Jalan Malioboro itu bernama Pasar Kembang atau sering disingkat Sarkem.
"Semua pindah kemana-mana, yang penting bisa mencari makan. Saya sendiri pindah ke Pantai Mbolong dan mengontrak salah satu rumah milik warga. Di Pantai Mbolong, Kabupaten Bantul tak beda juga dengan yang di SG. Meski saat ini sudah ditutup oleh Pemkab Bantul,"kata Anik.
Anik menambahkan para induk semang yang masih tinggal di kawasan SG yang kini menjadi Terminal Giwangan bertahan hidup dengan modal yang dimilikinya. Ada yang melanjutkan hidup dengan membuat usaha warung makan, penjual sate atau toko kelontong di sekitar terminal. "Yang benar-benar kerja keras ada yang berhasil dan yang tidak kembali menjadi induk semang,"demikian ungkap Anik.
Namun, ungkap dia, persentase induk semang dan anak semang yang tidak lagi terjun ke dunia prostitusi terbilang minim. Tidak sedikit dari mereka tak punya ketrampilan yang cukup. Hanya berpendidikan rendah dan modal sedikit, sedangkan keluarga di kampung membutuhkan uang.
"Karena tuntutan ekonomi maka mereka jadi induk semang lagi dan pekerja seks di tempat lain. Yang saat ini memiliki warung atau usaha lainnya terkadang tempat usahanya juga digunakan untuk mangkal para pekerja seks dan berlangsung secara terang-terangan," jelasnya.
Itu pula sebabnya SG masih belum bersih dari pelacuran. Praktik prostitusi, ungkap Sukro, masih terjadi oleh beberapa warga. "Masih banyak rumah milik warga di sekitar Terminal Giwangan khususnya yang berada di sisi timur terminal digunakan untuk prostitusi dan berlangsung secara terbuka,"katanya.
Sukro mengaku banyak juga rumah-rumah kontrakan disekitar terminal Giwangan yang digunakan untuk tempat tinggal para pekerja seks yang terkadang tinggal bersama dengan pacarnya."Sudah biasa yang perempuan kalau malam bekerja sebagai pekerja seks sementara pacarnya yang mengantarkan untuk mangkal atau mengantar ke hotel tempat kencan," ujar dia.
Karena daerah Giwangan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul maka ketika terjadi razia dari Tramtib Kota Yogyakarta maka para wanita pekerja seks ini hanya bergeser ke selatan Terminal Giwangan sehingga aman dari razia. "Yang jelas setiap razia pasti bocor, jadi bagaimana mau menangkap mereka?" ungkapnya.
Menurutnya Sukro, beberapa lama setelah penutupan SG merupakan pukulan yang berat bagi masyarakat sekitar. Warung makan tidak laku karena sudah tidak ada pembelinya dan untuk usaha lain butuh biaya yang tidak sedikit. Namun bersamaan dengan beroperasinya Terminal Giwangan yang merupakan terminal penumpang terbesar di Yogyakarta, geliat ekonomi warga di sekitar kampung SG kembali terjadi.
"Warung makan yang tidak laku sudah kembali pulih. Warga juga banyak yang mendirikan tempat penitipan sepada motor atau mobil yang pendapatannya dalam sehari cukup lumayan. Warga ada juga yang jadi tukang ojek, karena jika tiba terlalu malam di terminal Giwangan sudah tidak ada angkutan umum," kata Sukro.
Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Totok Suryo Noto mengaku meski SG sudah ditutup, namun kegiatan prostitusi tetap saja berlangsung di sekitar terminal Giwangan. Para pekerja seks menurutnya menjajakan diri di beberapa warung-warung yang ada di sekitar Terminal Giwangan.
"Biasanya mereka mangkal antara pukul 23.00 hingga 04.00," katanya. Totok mengatakan dia selalu rutin melakukan operasi. Namun yang tertangkap juga wajah lama.
Kemudian setelah disidang di Pengadilan Negeri, mereka membayar denda dan kembali mangkal. "Ya mungkin bisanya cuma bekerja seperti itu. Terus mau bagaimana lagi," ujar Totok.
Diakui Totok saat ini banyak rumah yang dikontrakkan di sekitar terminal Giwangan. Rumah-rumah itu dikontrak oleh para pekerja seks. Mereka rata-rata berumur 20 hingga 30 tahun.
"Mereka akan keluar dari kontrakan setelah ada pesanan untuk menemani tamu di salah satu hotel. Ini modus yang lebih aman karena petugas tidak mungkin merazia rumah kontrakan mereka," ungkapnya.
Totok mengatakan penutupan di Gang Dolly hampir sama dengan penutupan di SG karena ada perjanjian hitam di atas putihnya. Pemerintah punya landasan hukum yang kuat. "Dulu SG sebagai lokalisasi ditutup karena landasan hukumnya cukup kuat," jelas dia.
Totok mengatakan pada saat SG masih beroperasi, berbagai ketrampilan juga diberikan kepada induk semang dan anak semang. Namun setelah ditutup dan penghuni pindah sudah tidak diketahui lagi perkembangannya.
"Kan paling banyak warga pendatang di SG kala itu. Jadi perkembangan ekonomi mereka dari ketrampilan yang diberikan pemerintah tak dapat lagi dipantau," katanya.
Namun Totok memastikan hingga saat ini, masih ada penghuni SG yang mangkal disekitar Terminal Giwangan dan mengontrak atau kos disekitar terminal Giwangan.
"Kalau kita razia dan kita tanyai ada yang mengaku telah bekerja sejak SG dahulu ada. Padahal sudah 17 tahun SG ditutup," jelasnya.
Cerita dari Utara Jakarta
Tak hanya di Surabaya dan Yogyakarta. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta juga pernah melakukan penutupan lokalisasi. Lokalisasi Kramat Tunggak seluas 10 hektar yang terletak di Jakarta Utara itu ditutup oleh Gubernur Sutiyoso. Penutupan dilakukan pada 1999 lalu.
Ketika melakukan penelusuran di eks lokalisasi Kramat Tunggak, VIVAnews bertemu dengan Kaspandi (58) adalah warga yang tinggal tepat di sebelah Kramat Tunggak, yang kini telah berubah menjadi Jakarta Islamic Centre. Sehari-hari, dia berdagang es kelapa muda di depan rumahnya.
Meski telah 15 tahun berlalu, Kaspandi masih ingat benar pada sepajang tahun 1998 hingga awal 1999, sekelompok ibu-ibu berunjuk rasa di depan lokalisasi. " Mereka menuntut agar lokalisasi ditutup, daripada suami mereka sering menghabiskan waktu di dalam lokalisasi," katanya.
Akibat demonstrasi yang terus-menerus digelar, akhirnya pemerintah memenuhi tuntutan warga. Kramat Tunggak yang berdiri sejak 1970 ditutup. Setelah penutupan, Kaspandi menceritakan dampaknya langsung dirasakan warga yang tinggal di sekitar lokalisasi.
"Mungkin yang paling merasakan adalah para tukang ojek," ujarnya. Para tukang ojek menurutnya memiliki langganan tetap. Mulai dari para WTS, mucikari hingga para lelaki hidung belang yang datang berkunjung. Kaspandi meneritakan orangtua dahulu pada awal tahun 1990-an adalah seorang tukang cuci.
Dia masih ingat benar bagaimana dia mengambil pakaian kotor dan mengantarkan pakaian bersih yang telah selesai dicuci oleh ibunya. "Sekarang setelah ditutup, para WTS dan mucikari sebagian besar pindah ke Rawa Malang dan kolong jembatan Cilincing," ujarnya.
Tetangga Kaspandi, Edi Suhedi (55) yang pernah menjabat sebagai Ketua Rukun Tetangga sebelum lokalisasi ditutup mengatakan dia sebelumnya memiliki penghasilan tambahan. Penghasilan tambahan itu dia peroleh dari para WTS dan mucikari yang mengurus Kartu Tanda Penduduk.
Edi yang tinggal sejak kecil di Kramat Tunggak yang terletak di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara mengatakan sejak lokalisasi ditutup, banyak warga yang mengeluh. Warga mengeluh karena sebelumya mereka bisa hidup dengan mengandalkan pendapatan dari lokalisasi.
"Ada yang jadi tukang cuci, ojek, tukang parkir, tukang becak, pedagang asongan, hansip dan lain-lain. Tukang cuci saja dulu bisa punya anak buah 10 orang. Banyak pemasukan yang dihasilkan bagi warga di sini," katanya.
Setelah ditutup, menurut Edi banyak warga yang akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Namun ada juga dari mereka yang masih bertahan hingga hari ini.
"Setelah ditutup tahun 1999, tidak ada solusi dari Pemerintah DKI. Setelah ditutup ya dibiarin, dilepas begitu saja. Kemudian dibangun Islamic Centre," jelasnya.
Di depan Jakarta Islamic Centre yang berdiri di atas lahan eks lokalisasi, VIVAnews bertemu dengan Fransiska Margaretha Abraham, yang akrab disapa Siska (50). Siska bercerita tak lama setelah lokalisasi ditutup, ada seorang tukang ojek yang gantung diri. "Dia punya anak 11 orang, dia putus asa lalu gantung diri," katanya.
Setelah dilakukan penutupan, Siska bercerita para penghuninya berpencar. Selain ke Rawa Malang dan kolong jembatan Cilincing, banyak juga yang berpindah ke kafe-kafe karaoke di sekitar pelabuhan Tanjung Priok.
Ketika lokalisasi masih berdiri, suami Siska berjualan kupon judi togel. Dalam waktu sehari, suaminya bisa menyetor hingga Rp7 hingga 8 juta. "Kami dapat 30 persen," ujarnya. Dari pendapatan hasil menjual kupon judi itu, Siska bisa membangun rumah yang kini ditempatinya. Para pelanggan menurut Siska berasal dari dalam lokalisasi mulai dari WTS dan mucikari.
"Tapi itu dulu, sekarang saya jualan minuman asongan," jelasnya.
Setelah memperoleh cerita dari eks lokalisasi Kramat Tunggak, VIVAnews menuju ke Rawa Malang yang masih berada di Jakarta Utara. Bertemu dengan pasangan suami istri Pak Aboy dan Ibu Kesi. Mereka dahulu pernah menjadi mucikari di Kramat Tunggak.
Di kafe remang-remang miliknya bernama Indra Ayu, Kesi mengatakan sebelum lokalisasi ditutup, dia terlebih dahulu pulang ke kampung halamannya. "Setelah ditutup, saya baru pindah ke sini (Rawa Malang)," jelasnya.
Kesi memiliki 5 orang anak. Saat ini, perempuan 50 tahun itu mengurus kafe dibantu putra keduanya. Di kafe remang-remangnya, Kesi memiliki 5 orang anak buah perempuan yang siap menemani dan berkencan dengan pelanggan yang datang.
"Silahkan mas kalau ingin mencoba, tidak ada bedanya kok dengan yang di Kramat Tunggak," kata dia.
Kisah Sukses Solo
Lokalisasi Silir di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, kini sudah berubah. Kini, kawasan eks lokalisasi telah berubah menjadi pemukiman penduduk, Islamic Center, pasar klitikan Notoharjo hingga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Ar Rido. Kawasan ini sudah bebas dengan prostitusi.
Melihat ke belakang, lokalisasi yang terletak di bagian timur Kota Solo ini sudah ada sejak tahun 1960. Berdasarkan data yang dikumpulkan VIVAnews, kawasan Silir berdiri di atas dua wilayah rukun warga. Di lokalisasi itu terdapat sekitar 70-an rumah dan wisma. Setiap rumah memiliki luas sekitar 300 meter persegi. Tiap rumah itu biasanya menampung sekitar 10-15 PSK.
Setelah 37 tahun berdiri, pada 1997 lokalisasi itu ditutup. Penutupan dilakukan oleh Wali Kota Solo yang ketika itu dijabat Imam Sutopo. Sayangnya, meski sudah ada dasar hukum penutupan lokalisasi, kawasan Silir tetap hidup. Ratusan PSK masih saja beroperasi di tempat itu. Karena sudah ada dasar hukum penutupan, maka lokalisasi di Silir terbilang ilegal.
Iswanti, salah satu warga di Silir mengakui, para PSK masih saja beroperasi. Tetapi karena keberadaannya ilegal, maka mereka kerap dirazia oleh Pemkot Solo. Oleh sebab itulah tak jarang terjadi kejar-kejaran antara Satpol PP Solo dengan PSK.
“Dulu itu, setelah tahun 1997, para PSK ini kerap dirazia, dikejar Satpol PP. Mereka itu sering lari tunggang langgang masuk ke rumah penduduk. Yang penting mereka itu bisa lolos dari kejaran Satpol PP, “ ungkapnya.
Penutupan Silir secara nyata baru dilakukan pada tahun 2007 saat Solo kepemimpinan Joko Widodo dan FX Hady Rudiatmo. Pasangan yang baru memimpin Solo pada tahun 2005 ini melakukan serangkaian pendekatan kepada para mucikari dan PSK Silir.
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan mulai tahun 2006, dia mulai melakukan pendekatan ke para WTS dan mucikari di Silir. Pendekatan menurut Rudi dilakukan kurang lebih selama satu tahun.
Rudi mengatakan selama setahun, dia kerap mendatangi mereka dan menanyakan apa yang menjadi keinginannya. Pemerintah Kota menurut Rudi juga memberikan pendampingan keterampilan kepada para WTS seperti menjahit, memasak dan tata rias.
"Bahkan saat pendekatan itu pun saya sering diuyel-uyel (dipeluk) sama PSK. Ya itu nggak pa-pa, bagian dari membantu mereka untuk mencari solusi, “ ujarnya.
Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo.
Akhirnya setelah satu tahun melakukan pendekatan, Rudy berhasil menutup lokalisasi ini. Hanya saja para germo meminta syarat sertifikat tanah atas bangunan yang ditempatinya itu. Kemudian pemerintah kota pun menyanggupinya untuk memberikan sertifikat tanah kepemilikan kepada mereka.
“Sedangkan untuk para PSK dikembalikan ke tempat tinggalnya masing-masing dengan diberi bekal uang pesangon serta ketrampilan, “ tuturnya.
Tak hanya Rudy, ada juga sosok Sarjoko yang berkontribusi dalam upaya membenahi silir. Sarjoko adalah Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ar Ridho. Sardjoko mengakui jika penutupan kawasan lokalisasi secara formal bukan berarti kawasan tersebut sudah benar-benar mati dan tidak kembali beroperasi. Karena terbukti saat kawasan Silir ditutup tahun 1997, tetap saja ada PSK yang beroperasi.
“Oleh sebab itu yang dibutuhkan itu adalah bagaimana para PSK dan mucikari ini diajak duduk bersama untuk merumuskan dan mencari solusi permasalahan mereka. Selain itu juga mengajak mereka dengan bahasa yang sesuai dengan kemampuannya. Gampangannya nguwongke uwong, “ ungkap Sarjoko.
Dengan pendekatan yang dilakukan Rudy dan Sarjoko, akhirnya Silir pun kini berganti wajah. Sekarang Silir sudah tidak lagi terkenal sebagai lokalisasi. Sarjoko dengan PKBM Ar Rido berhasil mengentaskan para PSK ini dari lembah hitam. Mereka dibekal keterampilan agar bisa mandiri.
“Buktinya, para PSK yang sudah kami bina ini sudah tidak kembali ke lembah hitam. Mereka bisa mandiri. Kampung Silir sudah bukan menjadi kawasan lokalisasi. Karena bagi kami Silir yang sekarang bukan seperti Silir yang dulu, “ jelasnya.
Lokalisasi ke Resosialisasi
Jauh sebelum ide penutupan serta penertiban lokalisasi Dolly, ternyata komplek lokalisasi Sunan Kuning Semarang sejak lima tahun silam telah menjadi daerah percontohan, rehabilitasi dan resosialisasi di Indonesia.
Bahkan, lokalisasi yang akrab disebut 'SK' oleh warga Semarang itu telah berhasil mengentaskan sejumlah wanita tuna susila (WTS) dengan berbagai program yang digalakkan pemerintah.
Sejak 2009 silam, kompleks wisata birahi yang terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang itu tak hanya semata menjajakan aktivitas prostitusi. Tapi program pengentasan itu telah riil dilakukan dengan tujuan mengentaskan para WTS dari lembah hitam pelacuran untuk kembali kepada hidup normal.
Resosialisasi itu dilakukan melalui metode pembinaan kepada para WTS. Aturannya pun beragam. Para WTS tak hanya dikelola oleh mucikari (germo), namun pengelola lokalisasi punya wewenang penuh menerapkan sejumlah aturan.
"Di sini sekarang kan bukan lokalisasi, tapi resosialisasi dan rehabilitasi. Kita punya program dengan sistem tabungan dari tiap penghasilan anak asuh selama tiga tahun," kata Kepala Resos Argo Mulyo Sunan Kuning (SK) Semarang, Suwandi Eko Saputro kepada VIVAnews, Kamis 19 Juni 2014
Program itu terbukti ampuh. Terhitung di bulan Juni 2014 saja sudah ada 20 anak asuh yang berada di Resos SK telah berhasil dientaskan. Bahkan, program yang berjalan dua tahun terakhir itu dapat dipatuhi oleh seluruh anak asuh.
"Paling tidak mereka dapat Rp100 juta per tiga tahun. Di sini kan kita tekan, kalau sudah bisa dibina akan dikembalikan ke kampung halaman, dengan modal uang tersebut mereka bisa membuka usaha sesuai ketrampilan yang mereka minati, " jelas pria yang juga Ketua Paguyuban Antar Resosialiasi se-Indonesia itu.
Selama tiga tahun itu pula, mereka mendapatkan pelatihan seperti menjahit, memasak, salon serta membuat berbagai macam kerajinan serta jenis dan model ketrampilan yang lain. Harapannya mereka bisa keluar dari lembah hitam prostitusi dengan modal dari uang iuran yang telah dilakukan oleh pengelola selama mereka bekerja sebagai WTS.
Selain, pengentasan melalui rehabilitasi lembah hitam prostitusi, pengelola lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang juga memberikan pendidikan rohani. Seperti pengajian mingguan, bulanan bahkan rutin di tiap bulan Ramadahan.
Pendidikan rohani dengan menghadirkan sejumlah narasumber dan instansi keagamaan untuk rutin mengisi.
Pengajian bulananpun juga diadakan sebagai kegiatan siraman rohani yang mengajarkan bahwa melacur adalah perbuatan yang dilarang agama. "Bahkan kita anjurkan bagi yang non muslim untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Seperti ke Gereja, " terang Suwandi.
Dukungan Kesehatan
Seorang PSK berinisial EN (49), yang juga Koordinator Bidang Kesehatan, menyatakan masalah kesehatan menjadi hal penting yang menjadi perhatian utama di kompleks Sunan Kuning. Program yang ritin dijalankan antara lain, pemeriksaan terhadap 540 WTS yang dilakukan seminggu sekali. Hal itu berlaku bagi semua WTS, Pemandu Karaoke (PK) bahkan operator.
Pemeriksaan kesehatan itu dilakukan dengan metode tes Voluntary and Counseling (VCT) dan Screening. Metode pemeriksaan VCT ini adalah untuk memastikan sang PSK apakah dalam melayani tamu-tamunya menggunakan kondom atau tidak. Sedangkan metode screening dikenal mereka sebagai pemeriksaan rutin alat kemaluan para pekerja seks.
Dua metode ini dilakukan dalam rangka menekan terjadinya proses penularan penyakit kelamin atau Infeksi Menular Seksual (IMS). "Dalam seminggu kita melakukan 4 kali pemeriksaan secara bergilir dari gang ke gang. Untuk Jum'at-Sabtu kita buat untuk senam bersama, " ujarnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, tiap dua minggu sekali rutin dilakukan screening alias pemeriksaan kelamin. Hal itu untuk mengetahui apakah ada pekerja yang melayani tamu tanpa kondom atau tidak.
"Dengan perhatian kesehatan itu lima tahun kita jadi percontohan lokalisasi di Indonesia. Karena IPM kami sangat kecil dibanding lokalisasi lain, " tegasnya.
Pemeriksaan rutin lain adalah pengambilan sampel darah oleh petugas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kota Semarang. Tiap pekerja akan diambil sampel darah untuk diteliti di laboraturium. Hal itu untuk mengetahui apakah kandungan darahnya positif mengidap penyakit seks ataupun virus HIV-AIDS atau tidak.
"Kita akan pertahankan untuk masalah kesehatan ini. Jangan sampai masalah kesehatan akan menjadi seperti di Dolly itu," kata EN.
(viva.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar